
Serang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum Banten melalui Bidang Pelayanan Administrasi Hukum Umum mengikuti Diskusi Strategi Kebijakan yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum Gorontalo secara virtual melalui Zoom Meeting, Rabu (8/10/2025).
Diskusi ini mengangkat tema “Analisis Evaluasi Dampak Permenkumham Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan dan Penghapusan Jaminan Fidusia.”
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Wicaksono Rinaldi (Direktorat Perdata Ditjen AHU), Muhammad Djaelani (Koordinator BSK Kanwil Gorontalo), dan Dr. Yusrianto Kadir (Dosen Fakultas Hukum Universitas Gorontalo), dengan moderator Dr. Nova Effenty Muhammad dari IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Dalam paparannya, Muhammad Djaelani menjelaskan bahwa salah satu persoalan mendasar dalam penerapan Permenkumham Nomor 25 Tahun 2021 adalah kurangnya pengetahuan debitur mengenai kewajiban pelaporan penghapusan fidusia setelah pelunasan utang.
Hal ini menimbulkan kerugian hukum karena banyak sertifikat fidusia yang tidak dihapus, padahal kewajiban kreditur telah berakhir. Ia juga menyoroti lemahnya integrasi sistem antara AHU Online dan lembaga pembiayaan, serta keterbatasan sumber daya di bidang pelayanan hukum.
Sementara itu, Wicaksono Rinaldi menegaskan bahwa kendala utama dalam implementasi kebijakan fidusia terletak pada minimnya validasi berkas, kurang optimalnya pengawasan, dan belum terintegrasinya sistem AHU Online dengan sistem Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
"SOP penghapusan fidusia sebenarnya sudah jelas dan sistem sudah berjalan. Namun, karena kurangnya pemahaman dan koordinasi, banyak debitur yang tidak menghapus fidusia meski utang telah lunas,” ujarnya.
Adapun Dr. Yusrianto Kadir menilai bahwa peraturan tersebut belum memberikan efek hukum yang kuat terhadap pelanggar. Ia menyoroti absennya sanksi tegas bagi pihak yang lalai melaporkan penghapusan fidusia.
“Lebih dari 20 juta sertifikat fidusia di Indonesia belum terhapus. Artinya, jutaan aset masyarakat masih secara hukum dianggap terbebani, padahal utangnya telah lunas. Ini situasi yang perlu segera ditangani melalui reformasi regulasi dan kebijakan publik yang lebih responsif,” jelasnya. (Humas Kemenkum Banten)


















